Sampai saat ini, belum
pernah ada pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN, Nuclear Power Plant, NPP) di kawasan
ASEAN. Namun beberapa negara ASEAN sudah memiliki konsep pengembangan dan
pemanfaaran energi nuklir sejak tahun 1960an, seperti Filipina, Indonesia,
Thailand dan Malaysia.
Filipina, melalui Komisi Energi Atom Filipina (Philippine Atomic Energy Commission, PAEC) dan keputusan kebijakan Presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1973 tentang Pembangunan PLTN, maka dimulailah pembangunan PLTN tipe PWR buatan Westinghouse dengan daya 600 MWe di kawasan Bataan untuk memenuhi kebutuhan energi di pulau Luzon Filipina. Walaupun selama masa konstruksi, terjadi kecelakaan PLTN di Amerika pada tahun 1979 yang dikenal sebagai kecelakaan ‘Tree Mile Island’. Namun pada tahun 1984, konstruksi dan instalasi perangkat sudah hampir rampung dengan daya listrik keluaran sebesar 621 MWe dan menelan biaya sebesar 2,3 miliar dollar Amerika ($US 2.3 billion). Rencana pengoperasian komersial di awal tahun 1987. Akan tetapi kehendak politik berkata lain, pada tahun 1986 terjadi revolusi kekuatan rakyat yang menggulingkan presiden Ferdinand Marcos. Pemerintahan baru di bawah Corazon Aquino memutuskan untuk tidak mengoperasikan PLTN. Ini namanya bukan PLTN yang salah, tapi faktor politik berkehendak.
Indonesia juga pada tahun 1970an sudah dibentuk yang namanya Panitia Persiapan Pembangunan PLTN dan pada tahun 1980an di kawasan Puspiptek Serpong dibangun sebuah Reactor Riset Serba Guna (Multi Purposes Research Reactor) yang diberi nama Reaktor GA Siwabessy dan diresmikan beroperasi tahun 1987. Sebagai catatan kepentingan umum bahwa reaktor ini bukan PLTN. Sampai saat ini belum pernah ada pembangunan PLTN di Indonesia, yang ada adalah dalam tahapan persiapan menuju pembangunan PLTN. Bahkan pada tahun 1990, Presiden Suharto telah mengambil kebijakan energi nuklir dengan istilah ‘Go Nuclear’ yang rencana targetnya di sekitar tahun 2003/2004 PLTN Pertama akan telah beroperasi. Target perencanaan pembangunan PLTN didasarkan pada hasil studi kelayakan (Feasibility Study) oleh konsultan NEWJEC - Jepang
Filipina, melalui Komisi Energi Atom Filipina (Philippine Atomic Energy Commission, PAEC) dan keputusan kebijakan Presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1973 tentang Pembangunan PLTN, maka dimulailah pembangunan PLTN tipe PWR buatan Westinghouse dengan daya 600 MWe di kawasan Bataan untuk memenuhi kebutuhan energi di pulau Luzon Filipina. Walaupun selama masa konstruksi, terjadi kecelakaan PLTN di Amerika pada tahun 1979 yang dikenal sebagai kecelakaan ‘Tree Mile Island’. Namun pada tahun 1984, konstruksi dan instalasi perangkat sudah hampir rampung dengan daya listrik keluaran sebesar 621 MWe dan menelan biaya sebesar 2,3 miliar dollar Amerika ($US 2.3 billion). Rencana pengoperasian komersial di awal tahun 1987. Akan tetapi kehendak politik berkata lain, pada tahun 1986 terjadi revolusi kekuatan rakyat yang menggulingkan presiden Ferdinand Marcos. Pemerintahan baru di bawah Corazon Aquino memutuskan untuk tidak mengoperasikan PLTN. Ini namanya bukan PLTN yang salah, tapi faktor politik berkehendak.
Indonesia juga pada tahun 1970an sudah dibentuk yang namanya Panitia Persiapan Pembangunan PLTN dan pada tahun 1980an di kawasan Puspiptek Serpong dibangun sebuah Reactor Riset Serba Guna (Multi Purposes Research Reactor) yang diberi nama Reaktor GA Siwabessy dan diresmikan beroperasi tahun 1987. Sebagai catatan kepentingan umum bahwa reaktor ini bukan PLTN. Sampai saat ini belum pernah ada pembangunan PLTN di Indonesia, yang ada adalah dalam tahapan persiapan menuju pembangunan PLTN. Bahkan pada tahun 1990, Presiden Suharto telah mengambil kebijakan energi nuklir dengan istilah ‘Go Nuclear’ yang rencana targetnya di sekitar tahun 2003/2004 PLTN Pertama akan telah beroperasi. Target perencanaan pembangunan PLTN didasarkan pada hasil studi kelayakan (Feasibility Study) oleh konsultan NEWJEC - Jepang
Kebijakan pemanfaatan
energi di kawasan ASEAN datang lagi dari Vietnam, setelah melalui pelaksanaan proyek
studi umum sampai studi pra-kelayakan PLTN. Pada tahun 2009 Majelis Nasional Parlemen (National Assembly) merestui pemerintah untuk membangun PLTN sebagai salah satu sumber energi listrik Vietnam di tahun 2025. Langkah selanjutnya adalah memilih kerjasama dengan Rusia, yakni membangun 2 unit PLTN tahap pertama tipe PWR atau
dalam bahasa Rusia disebut tipe VVER berdaya 1000 MWe per unit,
yang kontraknya ditanda-tangani tahun 2010 dan 2 unit PLTN lainnya merupakan
PLTN tipe PWR buatan Jepang yang kontraknya ditanda-tangani pada tahun 2011. Dengan kerjasma ini membuat Vietnam menjadi terkenal dengan mega proyek ambisius
dalam pembangunan PLTN yang totalnya akan mencapai 8 unit. Lokasi tapaknya dapat dilihat pada Gambar di bawan ini,
Namun sayang, bulan
November 2016 pemerintah Vietnam mengumumkan untuk membatalkan pembangunan
PLTNnya. Alasannya bahwa dari hasil studi kelayakan PLTN, terjadi lonjakan biaya
yang akan dikeluarkan mencapai 19 miliar dollar (US.$19 billion) atau sekitar Rp 247 triliun. Biaya ini jelas
terlalu mahal buat Vietnam bila dibandingkan dengan pembangunan PLTU Batubara.
Sehingga Vietnam harus mengubur mimpinya memiliki PLTN. Ini namanya bukan PLTN yang salah, tapi faktor ekonomi
berkehendak.
Dengan adanya kejadian ini, PLTN masih belum mendapat tempat di kawasan ASEAN akibat situasi politik dan kemampuan ekonomi. Untuk itu, peran ASEAN Center for Energy dituntut harus memberikan suatu usulan konsep kerjasama yang berimbang dan saling membantu dalam kemajuan bersama terhadap pemanfaatan sumber energi di negara anggotanya. Sehingga konsep integrasi strategi pemanfaatan energi yang saling menguntungkan, berwawasan lingkungan dan harmonis dengan pertumbuhan ekonomi bagi negara anggota dapat terbentuk.